2016: Long Story (ID)
1 title (706 words) - 3 mins read
WRITING - BAHASA INDONESIA
Charlie, Charlie, Can We Play?
4/19/2016
Tulisan untuk tugas Bahasa Indonesia di bangku SMA.
Ini permainan memanggil roh halus. Dengan enam buah pensil dua orang pemain akan membentuk persegi panjang, masing-masing akan memegang tiga buah, satu untuk sisi pendek—sebagai lebar—dan dua untuk sisi panjang—satu di bagian kiri dan satu di bagian kanan—yang disambungkan dengan pemain didepannya. Jika permainan berhasil maka kedua ujung sisi panjang pensil yang bertemu akan bergerak kearah pemain, jika gagal maka sebaliknya.
Tersebar isu bahwa permainan ini dibuat oleh seorang gadis dengan masa lalu kelam yang ingin bermain dan memiliki teman.
[Fictogemino]
Perlahan aku mendekati pintu itu, memutar kenop lalu masuk. Didalamnya ternyata loteng. Kayu berumur membalut ruangan dengan satu jendela tua menghiasi salah satu dinding dan sebuah kursi goyang diletakkan di depan jendela dengan meja bundar di sebelahnya. Aku berjalan menuju meja tersebut, mendapati enam buah pensil dan sobekan kertas terselimuti debu tebal. Kuambil kertasnya lalu meniupnya, menampakkan kalimat yang tak jelas. Aku mencoba membacanya, ini peraturan sebuah permainan, permainan memanggil roh untuk bermain bersama.
Terdengar gesekan ringan dari kejauhan. Aku menoleh, terdapat bayangan seorang gadis kecil mengintip dibalik pintu di arah timur. Ia terlonjak lalu bersembunyi. Penasaran, akupun mendekatinya.
Saat aku hampir mencapainya ia menghilang, seolah memintaku mengejarnya. Aku mengabulkannya dan kulalui lorong dengan penerangan minim ini, beruntung dari kejauhan terlihat cahaya redup dari pintu yang terbuka. Saat mencapai ambang pintu aku mencuri lihat ke dalam, ruang tamu. Aku masuk dan mengamati sekeliling, corak darah mendominasi dengan lembaran surat bertebaran di segala penjuru, sebuah pisau tertancap di bagian tengah karpet monochrome bernoda, tak jauh terdapat vas pecah berisi mawar merah. Kelopaknya terlepas dan menempel pada darah yang mengering seolah membuat alur, diujungnya terdapat surat resmi bercap tertandatangan, surat perceraian. Mengerjap, kelihatannya seperti pembunuhan karena perceraian.
Telingaku menangkap bunyi telepon dari sekat di arah barat, merasa tidak nyaman berada disini, segera kumasuki sekat itu. Di dalamnya, aku terpaku. Papan tulis kapur bergambar sepasang kekasih memakai baju pernikahan, di atas sofa tua terdapat sweater merah yang sedang dirajut, dan telepon yang diletakkan di atas lantai berhenti berdering—dalam keadaan terbuka—lalu terdiam. Setelah melihat-lihat irisku kembali menangkap bayangan gadis itu, ia berdiri di lorong. Tak lama, ia menoleh dan tersenyum. Terdiam sesaat sebelum aku berjalan kearahnya.
Tiba-tiba—dan entah kenapa—sekelilingku berubah, aku berada di ruangan lain. Lantainya dipenuhi pecahan botol bermerek—Vodka, Wine, Tequila—dan ada sebuah lemari disandarkan pada dinding. Terlihat semuanya terciprat darah walau hanya tersinari cahaya redup. Namun, irisku menangkap jelas gadis itu. Ia meringkuk sambil bersandar di sisi lemari. Aku mendekatinya, mendapatinya sedang terisak dengan pakaian kumal dan tubuh penuh sayatan, di depannya ada seekor anak ayam yang telah mati. Sebelum menyentuh gadis itu tiba-tiba ia menghilang. Aku menelan ludah dan mengubah fokus pada anak ayam ini. Ia mati dengan satu tusukan di perut. Melihat sekeliling, terdapat sebuah sekat dan tembok yang sudah runtuh dan membuat lubang.
Aku menguatkan pendirian lalu memasuki lubang itu, di dalamnya terdapat sebuah pemutar film tua yang menyala. Ditampilkan seorang gadis kecil dengan pakaian kumal bermain sendirian di ladang—ia ingin bermain bersama anak-anak lain namun mereka menolaknya, telihat dari rautnya ia kesepian—lalu ia berteduh dan menemukan seekor anak ayam yang kemudian menjadi sahabatnya. Suatu hari, sang ayah menyiksanya di sebuah ruangan, anak ayam berusaha melindungi sebelum pecahan kaca melayang padanya. Gadis itu dikucilkan, hingga seorang pria menikah dengannya dan membuatnya merasakan sedikit kemanisan hidup. Namun, beberapa tahun kemudian, pria itu berkhianat. Pertengkaran verbal dan fisik tidak dapat dihindari hingga akhirnya mereka mengambil jalan tengah, surat perceraian. Setelah adegan terakhir—di ruang tamu—filmnya terhenti. Aku memperhatikan sekeliling, tidak ada kabel yang terputus, hanya ada sebuah tangga yang mengarah ke atas. Keringat dingin mengucur, aku terdiam sesaat sebelum menaikinya.
Mencoba untuk tetap tenang dan terus berjalan. Semakin lama kurasakan ada yang mengikutiku, lantas kunaikkan tempoku hingga akhirnya berlari. Terus berlari hingga merasa tidak ada yang mengikuti. Aku berhenti, mengatur napas, dan memperhatikan sekeliling. Hanya lantai putih membentang dan sebuah lubang di sisi kanan yang menjadi satu-satunya penghias. Aku terdiam melihatnya.
Gadis itu berdiri tidak jauh dariku. Perlahan dia menoleh, menunjukkan wajahnya yang hancur sambil menatapku kosong. Ia tersenyum kemudian membuka mulutnya yang mengeluarkan darah. Detak jantungku tidak normal, berbalik dan berjalan, mencoba menjauhinya.
“Hey, can we play?”
[Fictogemino]
Fictogemino: cerita kembar yang bisa dibaca dari atas kebawah atau bawah keatas.
