2019: Long Story Collection (ID)

3 titles (1133 words) - 4 mins read

WRITING - BAHASA INDONESIA

Penjiwaan

12/21/2019

“Menurutku, penulis itu pekerjaan yang berbahaya.”

Aku menoleh dan mendapatimu tengah menopang dagu dengan kaki menyila, melihat lurus ke arah danau di depan kita. Kau memang tak menampilkan ekspresi. Namun, diammu dapat diartikan bahwa kau tengah menunggu jawaban dariku.

“Mana mungkin, mereka hanya duduk di depan laptop dan menulis karya-karya mereka, tahu. Kalaupun mencari referensi, mereka tidak akan melakukan hal-hal yang mengancam nyawa.” Aku membantahnya mentah-mentah.

Wajahmu tetap datar menanggapi jawabanku. Karena kesal, aku melanjutkan melempar batu ke permukaan danau yang sesaat terhenti karena pernyataanmu tadi.

Pluk!

Pluk!

“Tubuh mereka memang diam, tapi memangnya kau tahu di mana jiwa mereka?”

Kali ini, pertanyaanmu benar-benar membuatku diam.

“Maksudmu?”

Kau menoleh padaku lalu melihatku dengan kecut, “Sulit berbicara dengan orang bodoh.”

“Hei! Bahasanmu itu terlalu berat tahu!”

“Baiklah, aku akan menjelaskannya dengan sederhana.” Kau menghela napas berat.

Aku mendecih, menunggu kalimatmu selanjutnya.

“Menurutmu, lebih mudah menuliskan sesuatu yang pernah kita alami atau belum pernah kita alami?” Kau kembali memulai dengan pertanyaan.

“Tentu saja yang sudah.”

“Lalu bagaimana kalau kau harus menulis hal yang belum pernah kau alami karena karakter di dalam novelmu mengalaminya?”

“Aku akan mencari banyak referensi, memvisualisasikan, dan menjiwainya agar tulisanku terasa nyata nantinya.”

“Jadi, semakin kau menjiwai dan merasakan hal itu, itu akan semakin bagus?”

“Tentu saja. Itu akan membuat peran di dalam tulisanku semakin hidup.”

“Lalu bagaimana jika kau harus menuliskan peran seorang psikopat, orang gila, atau wanita yang depresi hingga bunuh diri?”

”...”

Menunggu

12/9/2019

“Memang, menahan diri itu sulit.”

Kau yang sedari tadi melamun di sebelahku, menghela napas. Entah kenapa, mata yang selalu memancarkan kebahagiaan itu kini terlihat sendu.

Aku menundukan kepala takala tangan bermain dengan rumput yang kita duduki, “memangnya kenapa?”

“Entahlah. Tapi ketika dia berada di hadapanmu, dengan jarak yang bahkan tanganmu mampu untuk menggapainya dan menjadikannya milikmu,

Kau memilih tidak melakukannya dan tetap membiarkan jarak memisahkan kalian.”

“Lalu kalau kau memang mampu, kenapa memilih untuk tidak melakukannya?”

Kau tersenyum pahit, “Aku memang mampu, tapi aku tidak boleh melakukannya.”

“Kenapa?”

“Karena tidak boleh.”

“Kenapa?” Aku menyerangmu dengan pertanyaan yang sama.

“Tidak boleh. Sama seperti Tuhan yang memerintah dan melarang hambanya untuk melakukan sesuatu, pasti ada makna di baliknya, 'kan?

Tapi karena Tuhan maha baik, jadi kau percaya semua itu kelak untuk kebaikanmu sendiri.”

Aku terdiam kemudian mengangguk kecil. Senyum pahit di wajahmu pun perlahan berubah menjadi senyum yang tulus.

“Karena itu, aku memilih untuk menahan diri. Setidaknya hingga tuhan berkenan memberikannya padaku.”

“Tidak biasanya, memangnya kau jatuh cinta pada siapa?”

“Indomie di etalase toko tadi, beli dua gratis satu.”

“Brengsek.”

Pembalasan

7/25/2019

Dikirimkan untuk lomba Kreativo 2019

Jauh dari kenyataan manis yang diciptakan tuhan, ada tempat dengan ribuan peringatan bahaya mengelilingi. Sebuah ruang penghukum para pendosa hingga bangkainya hilang termakan waktu.

Namun, meski sudah dibuat setengah mati, iblis itu masih bernapas.

Meski begitu, sang eksekutor tak kunjung membunuhnya. Dia hanya menancapkan kutukan abadi yang mempertegas batasan antara cahaya dan bayang-bayang, membuat makhluk itu terkurung semakin jauh dari gerbang neraka.

Dan kali ini, kami berhadapan lagi.

Kegelapan membuat makhluk penuh dosa itu seolah tiada. Namun, rasa benci yang menusuk tulang ini bukanlah sebuah ilusi. Tawanya meledak. Mulut busuk itu kembali membuat terror nyata yang sama, membunuhku dengan reka ulang kehancuran tak terelakan pada masa lalu. Suara pekik menggema di balik jeruji di hadapan.

“Kau ingat penyerangan pasukan bersenjata dalam perang perebutan wilayah sepuluh tahun lalu? Ketika anak dari komandan keamanan rakyat sepertimu membocorkan tempat persembunyian ratusan pengungsi tak berdosa dan membiarkan mereka terbunuh hanya karena tentara musuh menyiksa dan menumpahkan asam nitrat pada mata kirimu?”

“Ya,” jawabku singkat.

“Atau saat bedebah-bedebah itu menyiksamu selama tiga bulan hingga kau hampir mati di umur ke-14? Kau ingat itu?”

“Ya.”

“Dan ketika kau membunuh—”

”Sudah selesai?” selaku.

Dia menengadah, membiarkan cahaya memperlihatkan sebagian wajahnya yang dipenuhi luka sayat. Tatapan kosong itu bertanya dengan sedikit terkekeh,

“Apa?”

“Aku bertanya, apa kau sudah selesai bicara?”

Dalam hening yang terjadi bisa kurasakan langkahnya beranjak mendekat. Di antara jeruji yang memisahkan kami—dan di bawah sorot redup cahaya—iblis berkulit manusia itu menunjukan sosoknya. Seorang pria setinggi enam kaki di umur ke-26. Namun, garis wajah itu membuat dia terlihat lebih tua dari seharusnya.

“Apa?” dia mengulangi pertanyaan tadi.

“Aku bertanya, apa kau sudah selesai bicara?”

Seketika tawanya meledak tak terkendali. Lalu terganti dengan jerit penuh cacian. Kemudian, di antara sumpah serapah dia berkata,

“Akan kucongkel keluar jiwamu hingga kau terbutakan akan warna

Dan menyayat setiap indra pada tubuhmu hingga kau tak lagi merasakan rasa

Lalu akan kutumpahkan segala penderitaan di atas jiwamu yang masih berusaha hidup hingga kematian adalah hal yang kau damba.”

Ya, persis seperti yang dilakukan mereka dulu.

“Keluarlah. Aku membutuhkanmu,” ujarku tanpa memedulikan ucapannya.

“Untuk apa?” Intonasi angkuh itu tetap sama.

“Kau tahu apa yang terjadi di luar sana, bukan?”

“Perang perebutan wilayah terulang dan orang-orang yang kau anggap rumah kembali terancam dibunuh. Aku tidak peduli. Biarkan saja mereka mati.”

“Bajingan. Mereka keluargaku.”

“Lalu? Kau bukan tuhan yang bisa membawa seseorang yang sudah di ambang kematian kembali ke kehidupan. Pada akhirnya semua akan mati. Cukup. Berhentilah.”

“Aku tahu. Karena itu akan kulindungi mereka agar bisa merasakan kesempatan kedua untuk hidup sebelum kematian benar-benar datang.”

Dia menatapku sembari tertawa meremehkan, tak lama kemudian menyeringai.

“Lihat siapa yang bicara. Manusia tak tahu diri yang tidak mati, juga tidak benar-benar hidup. Bahkan, kaulah yang seringkali membunuh dirimu sendiri.”

Aku terkekeh kemudian membalas seringainya.

“Kau memang berhasil membunuhku. Tapi lihat, siapa yang berhasil bangkit dari kematian dan bisa membuatmu berada di sini sekarang?”

Tawanya terhenti. Dia menyentak jeruji dan menjerit menyumpahiku.

BRAK!

Aku membanting jeruji besi yang memisahkan kami lalu mencengkram leher makhluk ini dan mengangkatnya tinggi di udara. Tangannya mencakar lenganku sedang mulutnya terus-menerus mengucap sumpah serapah. Kubalas sorot mata penuh kebencian itu kemudian mulai bicara,

“Dengar, jika aku harus berhenti maka biarkan kematian yang datang menghentikanku. Sampai saat itu tiba, aku akan terus hidup menanggung dosamu di masa lalu.

Aku akan hidup. Dan aku akan hidup sebagai pendosa yang membawa perubahan untuk masa depan—”

Ucapanku terhenti ketika giginya bergemeletuk hebat menggigit lenganku dan kedua tangan itu berusaha mencengkram leherku yang tak teraihnya. Aku meringis, rasa sakit ini nyata. Tapi persetanan dengan ini. Kembali kulanjutkan kalimatku yang tersela tadi,

“Kau bisa membunuhku ribuan kali, aku tidak peduli. Karena disetiap kematian itu juga aku akan bangkit dari kubur, lalu akan kuikat kematian diujung pelatukku dan membuatnya membawa orang-orang yang mencoba membunuh keluargaku ke dalam neraka.

Aku akan terus hidup hingga neraka membukakan pintunya padaku untuk menemanimu di sana.

Sampai saat itu tiba, kunci mulut bengismu itu dan jagalah punggungku. Aku butuh iblis untuk mengalahkan iblis.”

Wajahnya memerah penuh emosi. Mata kananku menatap mata kanannya lekam. Nyala pupil itu memperlihatkan warna abu yang sama. Ya, sama seperti milikku. Dan seketika, tawa kecil keluar dari mulutku sebelum mengakhiri pembicaraan,

“Dan jangan mati. Karena kau, adalah aku. Dan kita memiliki hal yang harus diperjuangkan.”