2021: Long Story Collection (ID)
2 titles (629 words) - 2 mins read
WRITING - BAHASA INDONESIA
Tamu
6/15/2021
Tubuhku terasa berat. Bibir yang semula selalu tersenyum, kini rasanya mustahil untuk kutarik naik. Kedua mataku yang memerah masih terfokus pada tubuhmu yang terkujur kaku.
Tanganmu terasa dingin. Pipi kemerahan yang selalu menyapaku di pagi hari itu kini pucat pasi. Dan, sekuat apapun aku meneriakkan namamu, kelopak mata yang menyembunyikan iris kecoklatan itu tidak pernah terbuka.
Di antara keheningan itu, telingaku menangkap suara pintu diketuk.
Tamu lagi, pikirku.
Kau memang memiliki banyak teman. Sangat banyaknya hingga peti matimu yang semula kosong kini dipenuhi buket bunga yang mereka bawa untukmu tadi.
Aku bangkit dari duduk kemudian melangkah mendekati pintu masuk. Lalu, kubukakan pintu itu untuk melihat siapa yang datang.
Melihat sosoknya, bibirku membuat senyuman kecil.
“Kau datang,” Ucapku.
“Sudah menjadi tugasku,” Jawabnya.
“Terima kasih sudah menunggu.” Aku membukakan pintu untuknya, membiarkannya masuk.
“Tidak masalah.”
Dia mendekati peti mati yang berada di ujung ruangan. Langkahnya yang ringan berhenti ketika bajunya dan kotak berbahan kayu itu bersentuhan. Dari belakang, bisa kulihat dia mengangkat kedua tangannya membentuk posisi berdoa.
“Dia orang yang baik,” Ucapnya.
“Ya, sangat baik,” Balasku.
“Sebentar lagi aku akan pergi, ada sesuatu yang ingin kau katakan padanya?”
“Katakan kalau aku menyayanginya, dan maaf karena tidak pernah bersikap seperti itu dulu.”
“Baiklah.”
“Hei, bolehkah aku bertanya?”
“Silahkan.”
“Apa Tuhan akan menempatkannya di tempat yang baik?”
“Kuharap begitu.”
“Huh? jadi kau juga tidak tahu?”
“Tugasku hanya sebatas mengantarkan, penghakiman berada di luar kuasaku.”
“Ya, tentu saja... Ngomong-ngomong...”
“Cepat bicara, aku tidak punya banyak waktu sepertimu.”
“Apa kau tidak bisa membawaku untuk ikut bersamanya?”
“Tidak. Aku tidak bisa mendahului apa yang sudah ditetapkan.”
“Ah, ya, tentu saja. Pertanyaan bodoh.”
“Tidak usah terburu-buru. Aku akan datang menjemputmu ketika waktunya tiba.”
Aku terkekeh, “Apa aku harus mengucapkan 'Terima kasih'?”
“Terserah. Aku tidak peduli,” Jawabnya dingin.
Dia berbalik, lalu melangkah mendekatiku. Ketika kami berhadapan, tangannya naik lalu menutup kedua mataku.
“Kau sudah lelah, istirahatlah.”
Kemudian aku tertidur.
Melepas
5/21/2021
“Kenapa paman mengatakan hal yang jahat seperti itu?” Aku mengepalkan tangan, kedua kaki terpaku ke tanah kala air mulai terasa di kedua ujung mataku.
Paman yang mengenakan trench coat senada dengan setelannya yang berwarna hitam itu hanya berhenti berjalan tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. keheningan yang diberikan olehnya seolah memaksaku untuk menjelaskan kalimat itu. dan, di antara tempo napas yang semakin tidak teratur ini akhirnya aku mencoba untuk bicara,
“Ayah dari teman paman itu sakit... tapi kenapa paman bilang 'semoga tuhan memberikan yang terbaik' ketimbang doa agar semoga cepat sembuh?” suaraku bergetar. aku menelan ludah sebelum melanjutkannya,
“Itu terdengar seperti paman berdoa agar beliau meninggal saja...”
Saat itu aku tidak bisa menahannya lagi. Air mata mengalir melalui pipiku. Aku mencoba membunyikan tangisan ini dengan menundukkan kepala. Kan, kali ini bisa kurasakan sorot mata paman yang dingin itu.
“Berapa umurmu?” Tanya paman.
“Delapan.”
“Kau tahu penyakit apa yang diderita orang itu?”
“Aku... tidak bermaksud mencuri dengar, tapi teman paman mengatakan kalau itu stroke hemoragik yang diperburuk oleh darah tinggi, kecanduan alkohol, rokok, dan narkoba.”
“Dan terlambat ditangani.”
”...Iya.”
“Orang itu sudah cacat dan berumur 83 tahun. Kau pikir dengan kondisi tubuh seperti itu dia akan bertahan meski sudah dioperasi?”
Bisa kurasakan darah keluar dari bibirku yang kugigit untuk menahan diri agar tidak berteriak. Aku tidak suka dihadapkan dengan pertanyaan seperti itu.
“Baiklah, katakan saja operasinya berhasil dan dia bisa bertahan. Tapi cacat otak yang didapatkannya karena keterlambatan penanganan tidak akan hilang. Meskipun dia bernapas tapi dia tidak hidup.”
“Apa maksud paman 'tidak hidup'? Kalau beliau bisa bernapas, Sudah pasti beliau hidup! Bukankah lebih baik tetap bersama keluarga meskipun mereka sakit daripada kehilangan mereka?!” Aku menegadahkan kepala dan berteriak. dadaku sesak. Kilasan balik masa lalu mulai memenuhi kepalaku.
Saat itu, aku melihatnya.
Paman tertawa.
“Bukankah seluruh keluargamu sudah mati karena wabah itu? Lalu kenapa kau bicara seperti orang yang tidak pernah merasakan kehilangan?”
